Selasa, 06 Maret 2012

Penantian

Images10
Cerpen: Holy Adib

HARI jam 8 pagi, matahari mulai meninggi, Elis pergi ke rumah Uni Wati, bekerja mencuci pakaian seperti seperti yang tiap hari dia lakukan. Anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun dibawa ke sana, karena di rumah tidak ada yang menjaga. Elis sangat ingin anaknya sekolah seperti anak-anak lain, tetapi sekolah yang menampung anaknya hanya ada di kota kabupaten. Selain jauh, biaya sekolah disana cukup mahal.

Elis sering bermenung di pintu rumah Uni Wati, setelah mencuci dan menjemur semua pakaian. Bermenung memikirkan suaminya yang tak pulang-pulang. Suami Uni Wati, Da Eri sering menegurnya. "Apa yang kau menungkan? Yang pergi tak usah dikenang, cari saja yang baru . Kamu kan masih muda dan cantik, banyak yang mau sama kamu," Gurau Da Eri biasanya.

"Aku belum dicerainya, Da. Aku belum menjadi janda. Orang-orang tahu kalau aku masih istri orang," kata Elis sembari memegang keningnya yang berkeringat.

"Kau kan bisa menuntut cerai, karena suamimu sudah lama tidak menafkahimu," tambah Uni Wati membelai rambut Elis yang panjang dan halus.

Uni Wati dan Da Eri bukan siapa-siapa Elis. Kelurga bukan, sanak sepersukuan juga bukan. Mereka hanya orang lain yang prihatin dengan nasib Elis. "Itu akibat kau tak mendengar kata ibu dulu. Sopir bus itu banyak istrinya. Di daerah sini ia punya istri, di daerah lain ia juga punya istri. Tetapi kau keras kepala juga. Kau kawin dengannya. Lihatlah nasibmu sekarang. Kau ditinggal pergi." Begitu biasanya Elis dimaki-maki kakaknya.

Makanya Elis tak mau bercerita atau mengadu pada kakaknya, sekalipun hanya meminjam beras segantang atau cabe agak seperempat kilo, ia tak mau. karena ia tahu akan sakit hati sepulang dari sana. Untung Elis punya adik laki-laki yang selalu membantunya. Adik laki-lakinya itu merantau ke Malaysia. Sekali tiga bulan, Elis dikirimi uang. Elis menyimpan uang itu pada Uni Wati, sebab ia takut uang itu akan terpakai. Uang itu ia simpan kalau-kalau ia atau anaknya nanti sakit. Atau untuk keperluan mendadak suatu hari nanti.

Elis menerima kiriman adiknya secara diam-diam. Kalau sempat kakaknya tahu, uang itu akan diambil kakaknya. Elis tak mendapat apa-apa. Karena ia takut pada kakaknya. Elis masih mengharap suaminya pulang. Tiap senja ia duduk di depan pintu rumahnya bersama anaknya, menunggu suaminya kembali sehabis pulang mengantarkan penumpang pulang. Dulu, waktu ia mengandung anaknya, suaminya plang membawa buah-buahan dan makanan-makanan yang enak. Elis sangat senang. Ia kenang masa-masa itu. Saat perutnya yang membuncit dikecup suaminya ketika pulang. Dan keningnya dicium suaminya saat berangkat menyopir bus.

Di malam buta, Elis berdoa pada Tuhan. "Hidup hamba sudah pekat hitam. Akankah kau tambah atau kau kurangi hitamnya, aku pasrah saja pada kehendak-Mu. Suamiku pergi, anakku begini keadaannya. Aku sungguh tak menolak apa pun yang Engkau berikan, tapi kabulkanlah pintaku yang satu ini. Gerakkanlah hati suamiku untuk kembali pulang."

Suatu siang, ketika Elis selesai mencuci, Uni Wati memberi tahu Elis bahwa ada orang yang akan melamar Elis. "Lelaki itu pegawai negeri, bukankah almarhum ibumu ingin kamu bersuamikan pegawai negeri? Jika kau menikah dengannya, kau akan senang. Kau tak perlu lagi bersusah-susah bekerja mencari uang untuk makan. Anakmu juga bisa sekolah. Bukankah kau ingin anakmu bersekolah seperti seperti anak-anak lain? Bagaimana Lis?" tanya Uni Wati pada Elis yang murunng saja mukanya.

"Entah Ni, aku tak tahu. aku belum bisa menerima lelaki lain dalam hidupku. Aku masih berharap suamiku pulang. Tak mudah melupakan atau menerima sesuatu, Uni," jawab Elis tak bersemangat.

"Ah, kau ini bagaimana, Lis. Sudah ada kehidupan yang lebih baik di depan mata, tetap kau tolak."

"Kebahagiaan tak dapat diukur dengan uang Da, walau hidup tak terlepas dari uang. Yang ku tahu, aku hanya ingin suamiku pulang, kalau tak pulang biarlah aku terus hidup sendiri, karena bagiku perkawinan hanya sekali," tutur Elis penuh keyakinan.

Orang-orang menganggap Elis agak gila. Rambutnya yang panjang kusut dan terurai, wajah yang sebenarnya cantik kelihatan murung selalu. Tak ada gairah hidup nampak pada dirinya. Gairah hidupnya hanya nampak di senja hari, ketika ia berdiri di depan pintu rumahnya menunggu suaminya pulang. Setelah itu, wajahnya akan sama murung nampakya seperti rumahnya yang kelam dan rimbu tak terurus. (*)

Sumatera Ekspres, Minggu, 3 Juli 2011.

0 komentar:

Posting Komentar