Terminal Lemabang, Palembang, Sumatera Selatan

Terminal Lemabang, Palembang, Sumatera Selatan

Terminal Lemabang, Palembang, Sumatera Selatan

Terminal Lemabang, Palembang, Sumatera Selatan

Terminal Lemabang, Palembang, Sumatera Selatan

Minggu, 03 Februari 2013

Merpati tak Ingkar Janji

Cerpen: Sheila Cavalera

Hatiku merasa sakit, ketika tahu kau hanya dipermainkan Rita. Padahal aku tahu, kau mempunyai hati yang tulus dalam mencintai. Tapi aku bisa berbuat apa kalau ternyata kau lebih memilih untuk kembali padanya

* * * * * * * * * * * * * * *


Menatap senja di Parangtritis kali ini mengingatkanku pada sosok Trada. Cowok itu ada dimana dia sekarang? Bahagiakah bersama cintanya? Suara camar terbang rendah di atas laut terdengar begitu merdu di telingaku. Tapi kadang terdengar memekakkan telinga, sama sekali tak berirama. Air laut menyentuh kakiku, terasa begitu dingin, melihat ombak bergulung yang kemudian menghempas karang. Betapa aku ingin menjadi karang itu, yang tetap kokoh berdiri walaupun diterjang ombak yang begitu kuat.

Kadang aku pun ingin menjadi ombak, yang bergulung tinggi dengan deburnya, kemudian menentang kehebatan batu karang. Ah, betapa kenangan bersama Trada pernah kulalui dipantai ini. Tepatnya empat musim yang lalu. Saat kami masih sama-sama duduk di bangku SMP. Kebersamaanku bersama Trada terjalin begitu saja, entah sejak kapan, tapi aku merasa jatuh cinta padanya, walaupun aku tahu dia bersama Rita. Kalaupun kemudian mereka terpisah itu bukanlahmurni kesalahanku. Rita telah menduakan cintamu.

Tak lama, kebersamaan kita pun terjalin indah. Kau selalu menjaga perasaanku, tak pernah sekalipun menyakiti hatiku. Aku pernah begitu berharap, kau bisa menjadi mentariku yang selalu menepati janji, dengan menampakkan sinarnya di pagi hari. Aku juga pernah menginginkan kesetiaanmu seperti burung merpati, yang bila terbang selalu kembali pada pasangannya, tapi aku tahu kau bukanlah merpatiku. Kau juga tak pernah menjadi mentari dalam kehidupanku.

Hati itu kels kita mengadakan liburan di Pantai Parangtritis yang terletak di Kota Bantul daerah Yogyakarta. Saat itu betapa aku merasa semakin jauh darimu. Dan perasaan itu benar adanya. Saat kita hanya berdua, dukapun terasa hilang. Tiba-tiba saja Rita hadir di tengh kita. Dia minta izin padaku untuk bicara empat mata denganmu. Entah mengapa, tapi aku merasakan akan jauh darimu. Dan ternyata ketakutanku itu terbukti. Beberapa saat kemudian kau datang padaku, duduk di atas pasir putih dengan badan basah kuyup.

"Maya, ada yang ingin kubicarakan padamu," katamu terbata-bata. Aku lihat matamu penuh keraguan, kau bisa melihatnya dengan jelas. Aku mencoba untuk berlapang dada, bahkan aku sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan kau katakan.

"Rita membutuhkanku," ucapmu akhirnya. Debur ombak saat itu kembali bergulung lebih hebat di mataku. Bahkan menerpa tubuh kita, aku sendiri seperti kehilangan kekuatan saat ombak itu datang dan reflek kau menahan tubuhku.

"Maya, bicaralah sesuatu, sepatah kata saja agar aku tak perlu merasa bersalah." Aku masih diam. Banyak kata yang tersimpan di hatiku, tapi aku tak sanggup untuk mengucapkannya. Bibirku terasa keluh, sangat keluh hingga tak satu pun kata yang mampu keluar dari bibirku.

"Aku minta maaf Maya, mungkin kau menganggap aku hanya menjadikanmu sebagai pelarian." Kutatap wajah Trada. Ada bias penyesalan di sana.

"Aku tak pernah keberatan walaupun kau hanya menjadikanku sebagai pelarian atas luka hati yang kau alami," ucapku datar, dn kata-kata itu merupakan sebuah kesungguhan dari hatiku, karena aku memang tak pernah merasa keberatan untuk kau jadikan pelabuhan sementara bagimu.

"Tidak Maya, sungguh aku tidak bermaksud untuk menjadikanmu sebagai pelarian. Kau baik, penuh ketulusan dalam mencintai. Andai Rita tak lebih membutuhkanku, aku pasti akan tetap memilih untuk bersamamu." Aku tak pernah tahu apakah ucapanmu itu hanya untuk menghiburku atas rasa kecewa yang menderaku, tapi aku tak pernah ambil peduli. Aku tahu betul siapa Rita, bagaimana sifatnya.

Setelah dia meninggalkanmu demi cowok lain, dia membuatmu terhempas dalam luka yang begitu dalam. Tapi setelah tahu cowok itu ternyata tak lebih baik darimu, dia menyesal dan memilih untuk kembali kepadamu. Itukah Rita yang kau bilang lebih membutuhkanmu? Bagiku aku lebih pantas menyebutnya cewek tak tahu diri yang menari di atas luka dan penderitaan orang lain. Apakah karena rasa cemburu? Tentu saja! Karena cowok baik sepertimu bisa dicampakkan untuk kemudian diraih kembali. Hatiku merasa sakit, ketika tahu kau hanya dipermainkan oleh Rita. Padahal aku tahu, kau mempunyai hati yang tulus dalam mencintai. Tapi aku bisa berbuat apa kalau ternyata kau lebih memilih untuk kembali kepadanya.

"Andai aku bisa menghadirkan sosok Trada yang lain untuk Rita, agar aku tak harus melukaimu, tapi kita tahu takkan prnah sanggup untuk melakukan itu," ucapmu getir.

"Aku tahu, aku cukup bahagia hanya mengenal satu Trada. Kau takkan menjadi dua." Aku mencooba tegar di depanmu, walau saat itu isi hatiku berantakan bagai kapal pecah. Aku seolah menghilang dalam pekatnya malam tanpa bintang, bahkan merasa begitu hampa dan kosong.

Dan hari-hari kemudian, hatiku semakin pedih kembali melihat kebersamaanmu bersama Rita. Semua orang seakan menatapku iba padaku. Apakah aku pantas dikasihani karena kehilangan hari-hari bersamamu? Walau ada rasa sesak di dadaku, tapi aku ikut bahagia, kalau kau bahagia. Ternyata cintamu memang untuk Rita. Dan aku tak bisa mengubah hatiku. Andai aku bisa mengubah hatimu sesuka hatiku, maka aku akan mengubahnya agar hati itu berpindah padaku, agar cintamu berlabuh padaku. Apakah itu yang dinamakan sebuah harapan? Harapan yang kubangun dengan serpihan-serpihan luka untuk dijadikan fondasi yang kuat, agar bila sudah bertahta tak akan pernah bisa dirobohkan oleh badai ataupun ombak yang dahsyat.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Sore ini aku kembali duduk di sini, di Pantai Parangtritis, memandang jauh kelautan, mengharapkan ada titik cerah tentang arti cinta yang kuharapkan darimu. Tapi semua rasanya percuma, karena yang kulihat hanya gulungan ombak laut biru yang mengikuti arah angin. Dingin terasa menusuk tulangku. Kurapatkan jaket yang menyelimuti tubuhku agar bisa menahan dingin itu, dingin yang sama yang kurasakan saat dulu bersamamu.

"Maya, ayo kita pulang!" teriak Reni memecahkan lamunanku. Saat aku menoleh aku melihat sahabat-sahabatku, teman satu kampus, sudah siap dengan baju yang rapi. Padahal sebelumnya mereka basah kuyup karena bermain dengan asinnya air laut. Kalau bukan karena bujukkan mereka untuk ikut dalam perjalanan rekreasi ini, aku tak pernah punya keinginan untuk kembali kemari. Karena kembali ke tempat ini hanya mengingatkanku pada kenangan atas dirimu. Sekeras apapun aku aku mencoba mengubur semua kenangan denganmu, tapi rendevous itu justru semakin terpatri dalam hati dan pikiranku, betapa aku tak pernah bisa melepaskannya dari ikatan benang hatiku.

Sebelum beranjak pergi aku kembali menatap batu karang yang berdiri kokoh di lepas pantai. Trada... kau pernah berkata ketegaranku dalam menghadapi masalah, seperti kokohnya batu karang itu. Andai saat ini kau ada di sini dan melihatkeadaanku, betappa aku tak pernah bisa menjadi batu karang yang tetap kokoh berdiri menahan deburan ombak, bagainamapun kerasnya. Ternyata hatiku rapuh, bahkan terlalu rapuh hingga tak mampu lagi berdiri dengan kemampuanku sendiri, aku menyadari betapa ternyata aku mudah sekali menjadi sosok yang begitu lemah.

Sekarang kembali aku berda di tempat ini, menikmati turunnya senja. Mentari yang hanya tinggal sepenggal sinar saja hingga temaramnya di ufuk barat. Tapi cintaku padamu tak akan pernah temaram seperti mentari itu. Aku ingin selalu menjadi mentari yang terus bersinar menerangi dunia, aku tetap setia pada cintaku, aku tetap akan menjadi merpati yang tak pernah ingkar janji.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Keempat sahabtku tertidur pulas di jok belakang. Aku tersenyum menatap wajah-wajah kelelahan mereka. Perjalanan kembali ke Semarang cukup memakan waktu yang lama. Didik satu-satunya cowok yang ikut dalam rombongan kami, sengaja untuk dijadikan sopir pribadi oleh sahabat-sahabatku. Aku menatap pantai Parangtritis lewat kaca jendala mobil.

"Kau sepertinya punya ketenangan akan tempat ini," ucap Didik mengagetkanku. Aku hanya terdiam, menatapnya tanpa berkedip. Didik pun melakukan hal yang sama. Tatapan matanya begitu menghujam tepat di manik mataku, hatiku mau tak mau merasakan sebuah debaran halus. Apakah debaran itu yang sama seperti yang kurasakan saat bersama Trada? Entahlah aku menggelengkan kepalaku perlahan.

"Kau belum menjawab pertanyaanku Maya?" tembak Didik membuat kepalaku teertunduk, tanya itu perlukah kujawab, akankah melukai hatinya? Ya.... aku memang punya kenangan dengan tempat ini, pada Trada, pada cintaku hingga aku belum mampu menerima cinta yang lain termasuk cintamu Dik.... batinku pedih. Biarlah waktu yang nanti akan menjawab semua pertanyaan yang Didik lontarkan padaku. Biarlah waktu yang akan menghapus kenangan pedihku bersama sosok seorang Trada. (*)