"Ari petualanganku sudah berakkhir. Kurasa inilah saatnya aku harus kembali."
"Apa aku tidak salah dengar. Bukankah kemarin kau begitu menggebu saat bercerita akan berpetualang mencari dunia baru karena kekecewaan yang kau temukan di kehidupanmu saat ini?"
"Aku tidak bisa memungkiri Ri. Petualangan itu begitu menarik. Banyak hal-hal indah yang kutemui. Banyak kejutan-kejutan menghampiriku. Bahkan banyak kebahagiaan menyelimutiku."
"Kalau memang luar biasa, mengapa kau ingin kembali? Bukankah belum genap empat bulan engkau berpetualang. Bagi seorang petualang sejati, waktu yang kau tempuh masih terlalu dini untuk melabeli dirimu sebagai petualang."
"Aku tidak butuh label Ri. Aku tidak butuh gelar. Aku hanya ingin mereguk dan mencari kebahagiaan."
"Kebahagiaan? Bukankah kau kkatakan dari petualanganmu kau tidak mereguk kebahagiaan?"
"Awalnya aku merasakan telah mendapatkan kebahagiaan sejati. Tapi entah kenapa aku merasa tidak bahagia. Setiap kali kebahagiaan mmenghampiri, saat itu juga ketakutan mengikuti. Ia menyelinap dalam relung hati dan mengetuk keras hingga memekakkan gendang telingaku."
"Sejak awal bukankah aku telah mengatakan ketika kau siap berpetualang, kau pun harus siap dengan ledakan-ledakan yang menghampirimmu."
"Aku tahu Ri. Dari awal kau telah mengingatkanku ketika aku tergoda untuk berpetualang dalam biduk orang lain."
"Nah.... sekarang kau ingin kembali. Apakah kau tetap yakin di dunia aslimu ini kau akan menciptakan kebahagiaan?"
"Entahlah.... aku pun tidak yakin Ri."
"Ha.. ha.. ha.. Hanya itu upaya dirimu setelah hampir empat bulan lalu kau berkoar tentang keresahanmu tidak mendapatkan kesempurnaan di duniamu sekarang. Saat kau merasa biduk yang kau arungi tidaklah sesempurna keinginanmu. Setelah petualangan singkatmu, apakah kesempurnaan telah kau temui?"
"Sempurna... sebenarnya itu adalah klise yang kuciptakan lantaran ketidakmampuanku dalam menciptakan kebahagiaan versiku Ri."
"Apa kebahagiaan versimu?"
"Kebahagiaan yang kudamba adalah ketika aku ingin menangis dia berusaha menghiburku, saat aku sakit dia berusaha mengobatiku, saat aku bersedih dia rela memberikan bahunya untuk memelukku, dan saat aku bahagia dia akan tertawa bersamaku serta saat aku punya cit-cita dan ingin bercerita dia bisa menjadi guru dn dosen bagiku."
"Hmmm.... hanya itukah arti sempurna bagimu, setelah petualangan kilatmu, apakah kebahagiaan itu telah kau reguk?"
"Sempat Ri, aku sempat merasakan kebahagian menyelimutiku. Aku sempat melihat bunga bermekaran memberikan warna-warna indah. Aku sepat merasakan indahnya kicauan burung, aku sempat merasakan hembusan halus semilir angin. Bahkan aku sempat mereguk manisnya madu bunga."
"Lantas semuanya usai?"
"Aku bosan Ri."
"Bosan.... itu memang sudah watakmu sejak dulu."
"Iya Ri. Aku merasakan bosan yang termat sangat. Aku merasa tidak ada lagi kejutan-kejutan. Tidak ada lagi ledakan-ledakan yang menghampiri hati. Saat ini yang tampil di depan mataku adalah serba kekurangan."
"Itu saja?"
"Awal kebosanan itu timbul setelah aku merasa lelah Ri. Aku merasa lelah berpetualang di daerah abu-abu. Aku capek saat kebahagiaan yang kuraih tidak mampu aku proklamirkan. Aku merasa beban yang berat saat harus terus bersembunyi untuk mendapatkan sebuah komitmen."
"Kalau memang demikian. Saatnya kau hentikan petualanganmu. Istirahatlah.... pulihkan tubuhmu.... segarkan pikiranmu.... lupakan petualangan singkatmu dan kubur dalam-dalam jangan sampai semua orang tahu. /sekarang minummlah obatmu."
"Terima kasih Ri. Kau adalah teman setia yang sempurna bagiku. Aku lelah Ri. Aku ingin tidur.... selamat tinggal Ri."
Malam beringsut menjeang Subuh, matahari bersiap di ujung timur untuk menjalankan tugasnya. Rembulan mulai bersembunyi di balik awan untuk menyingkap kelam. Kelelawar usai menikmati ranumnya buah setelah hujan mengajak bumi berdansa dengan airnya. Napas-napas kehidupan pun mulai menyeruak mengantar perempuan muda yang tidur pulas menjelang ajal.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Matahari belum sempurna menampilkan wujudnya, tapi ayam sejak pagi teah mengingatkan pergantian hari, terlihat keramaian yang tidak seperti biasanya di sebuah kompleks perumahaan di kota pempek. Puluhan pasang mata dengan masih mengenakan piyama dan daster tampak memenuhi depan jalan sebuah rumah dekat kediaman mereka. Di pagar depan rumah bertipe 70 dan bercat kuning yang menjadi pusat perhatiaan telh terpasang garis polisi. Sejak pagi petugas kepolisian sibuk mengamankan lokasi kkejadian. Dari dalam rumah berlantai dua itu terdengar tangisan anak-anak.
i dalam kkamar berukuran 6x5 dan di atas tempat tidur berseprai bunga-bunga merah jambu terlihat sosok wanita berambut panjang mengenakan daster batik berwarna coklat terbujur kaku dengan mulut mengeluarkan busa. Di sebelahnya terlihat botol bekas obat tidur yang sudah kosong. Di samping wanita itu juga ditemukan sebuah buku harian dengan judul besar di bagian atas halaman tengahnya di-Ari. Dari buku yang terbuka itu terdapat tulisan:
"Suamiku.... maafkan aku tidak mampu menjadi istri yang sempurna bagimu. Tolong jaga buah hati kita.Sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Tolong jaga anak-anak kita. Aku tidak mampu lagi mengasuh mereka karena aku sangat lelah."
Oleh petugas, jasad perempuan muda itu dimasukkan ke dalam kantong jenazah untuk divisum dan segeramengamankan tempat kejadian serta barang bukti yang berserakan. Sementara suami si perempuan hanya termangu. Tidak ada tangisan di matanya, yang terlihat kebingungan teramat sangat ketika polisi berusaha mengorek keterangan sebagai saksi.
Udara mulai menghangat sementara warga yang tadi berkerumun mulai pulang satu per satu. Pagi menjelang siang itu debu-debu berterbangan mengantar jasad perempuan itu bersama berlalunya petugas kepolisian meninggalkan kesedihan bagi kedua putri dan suaminya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar