Minggu, 18 Maret 2012

Gadis Kecil Berpayung Gerimis

Hujan
MASIH terlihat sisa-sisa asap yang keluar dari tumpukan seng dan genting; debu berterbangan keluar dari tanah hitam pekat yang dikais oleh kerumunan orang. Kayu-kayu kerangka rumah yang habis terbakar berserakan semrawut. Pohon dan rumput-rumput tampak kering kerontang, bahkan ranting-ranting rapuh berjatuhan dari pohon yang telah hangus.

jalan lorong menuju rumah-rumah itu masih berlapis debu. Sisa-sisa unggas yang terpanggang api masih menghiasi setiap sisi jalan. Rangka sepeda, motor, dan becak yang tidak sempat terselamatkan bergeletakan di kiri kanan jalan lorong pemukiman. Tampak beberapa pemilik rumah sambil menangis mengais-ngais tanah mencari sesuatu yang masih bisa dimanfaatkan, seperti uang logam, dan perabot rumah tangga yang terbuat dari besi dan almanium. Air mata mereka seolah menbanjiri tanah-tanah hitam berdebu. Semua rata dengan tanah, tiang-tiang rumah yang hangus seperti tugu-tugu arang yang menjadi saksi keganasan si jago merah semalam. Lalu lalang pengunjung masih masih tampak terlihat memberikan dukungan moril kepada pemilik rumah yang baru tertimpa bencana kebakaran, salah satunya keluarga Siti.

Di usia dua belas tahun, Siti dititipkan bapaknya kepada neneknya. Usia yang sangat muda untuk berpisah dengan berpisah dengan adik dan kedua orangtua. Satu hingga tiga bulan sekali Bapak mengujungi Siti. Saat itu rindu yang sudah menggunung akan terobati. Setiap hati Siti membantu Nenek berjualan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Walaupun nenek tak pernah menyuruh, Siti dengan kesadarannya selalu membatu nenek. Ketika waktu shalat dan mengaji dia akan segera meninggalkan pekerjaannya. Namun, di sela-sela ramainya pembeli, Siti yang pendiam terkadang murung, entah apa yang dipikirkannya. Kesehariannya tak banyak bicara dengan siapapun. Kadang Nenek tak mengerti apa yang dipikirkannya, tapi kalau Siti murung, Nenek beranggapan Siti merindukan Bapak.

"Apa yang sedang kau pikirkan Siti...., Bapak mungkin bulan depan akan kemari, kalau ada keperluan sekolah yang mendesak katakanlah?" tanya Nenek.

Siti kadang merespons dengan diam dan menggelengkan kepala. Begitulah Siti, setiap kali ditanya, tubuhnya yang kurus dan pucat seperti menyimpan sesuatu. Duduk di sekolah menengah pertama kelas tujuh, Siti memang dikenal sebagai anak yang pendiam dan tidak mudah bergaul di sekolah.

Beberapa bulan berlalu ditempat Nenek Siti mulai menunjukkan naluri anak-anak yang butuh hiburan. Diam-diam Siti mulai hoby mendengarkan lagu-lagu pop, kadang sampai hafal, menonton film-film kartun kesukaannya hingga mengoleksi tokoh-tokoh kartun idolanya. Siti seperti mendapat dunia baru. Siti yang dikenal selalu beribadat tepat waktu kalau disamping Bapaknya, kini harus selalu diingatkan Nenek soal waktu shalat dan mengaji.

Pernah ketika Bapak datang menjenguk, dilihatnya Siti bermain tanpa mengenakan jilbab. Langsung saja Siti dibentak lalu dipanggil ke rumah dan langsung diberi "ceramah," termasuk Nenek dan orang-orang di rumah yang tinggal bersama. Bapak memberikan "ceramah" dengan nada tinggi, semua dalil-dalil keluar sebagai dasar penguat ceramah. Seperti itulah Bapak, tiada hari menceritakan surga dan pahala. "Silaturahmi yang diridhai itu ketika bertemu menanyakan seberapa jauh iman kita telah meningkat dan lebih banyak menceritakan tentang agama ketimbang dunia," patuah Bapak.

Dulu Bapak seorang lelaki yang biasa saja, tidak berbeda dengan yang lain. Bekerja sabagai mandor perkebunan sawit membuatnya sebagai sosok yang disegani dan berkecukupan. Perbedaan yang mencolok terjadi ketika dia memperdalam ilmu agama. baginya dunia adalah tipuan. Sejak saat itu porsi mengejar akhirat lebih banyak ketimbang dunia. Siti kecil sering di tinggal berbulan-bulan demi dakwah untuk ummat, sedangkan ibu Siti berjualan sayur untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bapak mendidik Siti dan adik dengan doktrin agama yang kuat. Bahkan di rumah tidak ada televisi dan perabot-perabot rumah tangga yag bertentangan dengan sunnah agama. Ditambah letak rumah yang jauh berada di sebuah perkebunan sawit tanpa penerangan yang memadai. Di sinalah Siti kecil tumbuh melihat dunia, jauh dari hingar bingar kesibukan kota. Masalah ekonomi keluarga tidak pernah diperdebatkan. Ibu pun menerima keadaan dengan ikhlas.

"Orang miskin yang beriman itu seratus tahun lebih dulu masuk surga. Jangan takut jadi orang miskin."

Kalimat ini selalu diucapkan Bapak agar keluarga menerima keadaan. Sebenarnya Nenek takut kesalahan dalam mendidik Siti. Naluri kekanak-kanakan jauh lebih besar daripada doktrin-doktrin agama yang diberikan. Setelah lama di tempat Nenek, Siti tak pernah lagi terlihat murung walau Bapak berbulan-bulan tidak mengunjunginya. Dia tumbuh menjadi anak yang periang, banyak teman, dan tubuhnya mulai berisi dan terawat. Nenek begitu menyayanginya. Siti bahkan telah menyatu dengan dilingkungan tempat tinggal Nenek bersama anak-anak sebaya yang lain.

* * * * * * * * * * * * * * *



Malam terjadi kebakaran. pagi-pagi sekali Bapak datang melihat keadaan Siti dan berniat mengajaknya pulang, karena tempat tinggal Nenek sudah tidak layak unntuk ditinggali. Namun, Siti tegas menolak dengan alasan masih ingin bersama Nenek untuk membantu membersihkan sisa perabot yang masih terselamatkan, apalagi ujian sekolah sudah dekat. Bapak menerima alasan itu. Akan tetapi, setelah ujian Bapak berjanji akan memboyong Siti pulang dengan alasan tidak membebani Nenek karena masih tertimpa bencana kebakaran. Apalagi warung yang satu-satunya penopang hidup Nenek juga ludes di makan api. Bapak pergi lagi melanjutkan dakwah dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu kota ke kota lain.

* * * * * * * * * * * * * * *



Hujan belum reda sejak pagi hingga sore. Gemercik air membasahi tanah pemukiman. Sebuah rumah seadanya dari dinding seng dan atap terpal plastik ukuran 3m x 3m yang didirikan di atas tanah rumah yanng sudah beberapa minggu terbakar. Tampak orang berkerumun mengelilingi rumah gubuk itu. Mereka tak menghiraukan air yang membasahi tubuh. Ternyata, Nenek menangis meratapi Siti yang tak sadarkan diri. Tubuh mungil Siti pucat tak berdaya,, tergeletak di atas tikar. Terlihat tabib sedang mengusap-usap muka Siti, tapi hasilnya nihil dan tak kunjung sadar. Kecemasan dan kepanikan semakin mendera Nenek dan orang-orang yang mengelilingi tubuh Siti.

Usai shalat Subuh, Siti mengeluh pusing dan sakit di dadanya. Nenek menyuruhnya tidur agar sakitnya berkurang. Sejak saat itu Siti tak sadarkan diri. Sesekali kadang matanya memancarkan api dan menatap kosong. Tangannya menggenggam seperti menahan rasa sakit.

"Bapaknya sudah dihubungi belum?" tanya seseorang

"Sudah sejak tadi pagi dihubungi, tetapi belum datang juga. Katanya masih berdakwah," jawab seseorang mondar-mandir sambil memegang telpon genggam.

Tak lama kemudian seseorang datang bersama dokter muda. Dokter muda itu dengan sigap. "Sesegera mungkin anak ini harus dibawa ke rumah sakit dan ditangani secara medis. Kondisi tubuhnya sangat lemah, nafasnya sudah tersengal-sengal jadi perlu oksigen dan infus secepatnya agar kondisinya tubuhnya membaik." saran dokter.

Hingga adzan maghrib bergema, tiba-tiba seseorang menerobos kerumunan dan langsug memeluk Siti erat dan menciumnya sambil menangis.

"Istighfar Siti, Allahu akbar..... Allahu akbar... Allahu akbar.... Laailahailallah...."

"Ucapkan Siti"

Siti tetap tak bergeming tubuhnya lunglai, pucat, dan dingin serta bibirnya membiru. "Kumohon yaa Allah, hadiahkanlah pahala dakwahku selama ini kepada gadis kecilku. Semoga anakku menjadi penghuni surga, amin." (*)

Cerpen Suharno.
Sumatera Ekspres, Minggu, 22 Mei 2011.

0 komentar:

Posting Komentar